Tahukah Anda apa kesamaan antara Scott Pilgrim Vs. The World, The Maze Runner, dan The Shawshank Redemption? Ya, ketiga film ini merupakan contoh karya sinematik yang mendapat respon positif dari kritik, namun belum mampu meraih kesuksesan di box office. Memang seringkali kualitas film yang bagus diharapkan akan berdampak positif pada pendapatan sebuah franchise dan teater. Namun, terkadang, film berkualitas tinggi tidak selalu menjamin kesuksesan finansial, apalagi dengan anggaran produksi yang sangat besar namun penghasilannya tidak melampaui biaya pengeluaran. Fenomena ini disebut dengan flop.
Inilah yang sedang terjadi di industri perfilman belakangan ini. Baru-baru ini, tiga film yang disebut-sebut sebagai andalan dari studio terkenal, seperti film dari Marvel Studios, Lionsgate, dan film yang dibintangi Tom Cruise, yaitu Thunderbolts, Mission: Impossible – Dead Reckoning Part One, dan Ballerina, telah dirilis. Ketiga film ini mendapat respon kritik yang rata-rata lumayan bagus. Namun demikian, ketiga film tersebut belum mampu mencapai angka box office tiga kali lipat dari pengeluaran yang seharusnya selama beberapa minggu, sebelum akhirnya bisa dikatakan flop. Yang anehnya, mereka mengalami kegagalan bukan karena kualitas film yang jelek, melainkan beberapa faktor lain yang membuat film-film tersebut berada dalam kondisi demikian, terutama pada franchise yang sudah dipercaya selama bertahun-tahun.
1. Hilangnya Kepercayaan Pada Suatu Franchise
Hilangnya kepercayaan pada suatu franchise sangat berpengaruh pada pendapatan film. Apalagi jika franchise tersebut sebelumnya telah menghasilkan beberapa film berkualitas tinggi yang sangat layak untuk ditonton. Ambil contoh Marvel Cinematic Universe (MCU), salah satu waralaba terbesar di industri perfilman. Meskipun MCU bukanlah waralaba yang sempurna, ada masanya di mana waralaba ini mencetak rekor dengan film-film berkualitas bagus yang selalu meraih angka box office secara berturut-turut, mulai dari Captain America: Civil War hingga Avengers: Endgame. Semua film dari Marvel ini berhasil memecahkan rekor box office, terutama Endgame itu sendiri yang dinobatkan sebagai salah satu dari tiga film terlaris sepanjang masa, bersaing dengan Avatar dan Titanic.
Namun, semenjak Avengers: Endgame, Marvel Studios seolah kehilangan arah. Apalagi di Fase Keempat, beberapa film seperti Thor: Love and Thunder dan Eternals mendapat respon negatif, sementara film lain seperti Doctor Strange in the Multiverse of Madness mendapat respon yang terpecah belah (divisive). Meskipun serial TV seperti Loki dan WandaVision secara keseluruhan mendapat respon positif, hal tersebut tidak cukup mengimbangi penurunan respon sekaligus pendapatan dari suatu waralaba, mengingat narasi “MCU is dead” mulai bermunculan di Fase 4 setelah sebelumnya juga sempat muncul di Fase 2.
Inilah yang menjadi salah satu pengaruh mengapa film Thunderbolts mengalami kegagalan. Selain karena kurangnya strategi marketing, hilangnya kepercayaan penggemar juga berpengaruh sehingga mereka memilih untuk meninggalkan waralaba ini setelah sekian lama. Puncaknya, banyak yang beranggapan bahwa film Captain America: Brave New World bisa menjadi titik terendah dari franchise ini karena tidak hanya mendapat respon negatif, namun juga berpengaruh terhadap film selanjutnya, yaitu Thunderbolts, yang meskipun mendapat respon cukup bagus, masih belum mampu mengangkat waralaba ini.
Dari semua alasan di atas, hal itu bisa dikatakan alasan mengapa penggemar bisa sampai kehilangan kepercayaan pada suatu franchise. Meski demikian, perlu diingat untuk mengontrol sebuah ekspektasi, apalagi eksperasi fans yang berlebihan juga bisa memengaruhi sebuah film.
2. Ekspektasi Fans Yang Berlebihan
Memang secara harfiah, tidak ada yang salah mengenai ekspektasi, namun ada kalanya sebuah eksperasi fans juga dapat memengaruhi tidak hanya kualitas film, namun juga pendapatan film tersebut. Hal ini karena biasanya penggemar yang sangat kecewa karena ekspektasinya tidak terpenuhi, akan memposting sesuatu yang berkaitan dengan film tersebut, seperti mengapa film ini sangat mengecewakan, atau kenapa ekspektasinya tidak terpenuhi. Akibatnya, orang-orang yang sangat ingin menonton film tersebut menjadi tidak jadi menonton, hanya karena ekspektasi dari satu orang yang tidak sesuai.
Sebagai contoh, dalam kasus Doctor Strange in the Multiverse of Madness. Banyak yang berekspektasi beberapa karakter akan muncul di film itu seperti Magneto, Tom Cruise sebagai Iron Man, dan bahkan saking absurdnya, sampai ada meme di Facebook yang memunculkan John Wick di film ini. Hal ini sebenarnya sudah menjadi contoh betapa tidak realistisnya sebuah ekspektasi pada film tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mengontrol ekspektasi agar hal-hal yang tidak diinginkan tersebut tidak memengaruhi kualitas film dan agar cerita dari film tersebut sesuai dengan apa yang dipasarkan.
3. Marketing Yang Kurang Berdampak
Selain ekspektasi, strategi marketing film menjadi salah satu cara untuk meraih kesadaran dan membuat orang tertarik untuk menonton film yang dibuat agar bisa mencapai target penonton yang diharapkan dan bisa meraih tiga kali lipat angka dari box office. Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menarik penonton, mulai dari media berbayar seperti iklan, atau media sosial lewat meme, YouTube, dan lain sebagainya, yang penting bisa dilakukan agar bisa menarik perhatian penonton.
Tentunya strategi marketing tidak hanya harus masif, namun juga harus memberikan dampak yang terlihat wah, konsisten, dan menarik agar bisa memancing penonton untuk menonton film tersebut. Namun, pada akhirnya semua akan kembali ke penontonnya, karena ada beberapa calon penonton yang memilih tidak jadi untuk menonton karena pertimbangan uang.
4. Harga Tiket Bioskop Yang “Mahal”
Salah satu mengapa orang sekarang tidak jadi menonton film meskipun ada niat adalah harga tiket bioskop yang dianggap “mahal”. Meskipun sebenarnya harga tiket yang dipatok masih terbilang cukup adil, namun yang membuat orang menjadi malas menonton bioskop karena menurut mereka harga yang dipatok agak lumayan “mahal”. Mengapa demikian? Karena kebanyakan orang lebih suka menonton bioskop sambil membeli makanan dan minuman yang disediakan, terutama popcorn dan air mineral yang harganya terkadang bisa mencapai seratus ribu rupiah. Apalagi sekarang, pihak bioskop juga menerapkan kebijakan untuk tidak membawa makanan dari luar ke teater. Meskipun ini bermaksud baik dan alasannya bisa dimengerti, namun hal itulah yang menjadi alasan kenapa orang malas untuk menonton bioskop.
Selain harga, waktu juga menjadi masalah bagi para penonton dan mengapa mereka memilih untuk tidak menonton film di dalam teater. Selain jadwal film yang bertabrakan dengan jam kerja atau jam sekolah, kondisi fisik atau situasi lain juga memengaruhi keinginan seseorang untuk menonton film, baik itu karena capek atau takut dengan keramaian, terutama di akhir pekan di mana bioskop menjadi sangat ramai. Dua hal tersebut sebenarnya sangat logis dan bisa dimengerti, terutama di zaman sekarang di mana ada sebagian yang lebih memilih untuk menunggu film tersebut bisa masuk ke layanan streaming agar bisa menonton.
5. Maraknya Layanan Streaming Service
Sejak kemunculan dan naiknya Netflix sebagai layanan streaming berbayar, banyak perusahaan besar seperti Disney, Amazon, Apple, dan bahkan HBO membuat jasa layanan streaming serupa. Jasa layanan tersebut merupakan on-demand yang mendistribusikan beberapa film di seluruh dunia dalam satu situs yang bisa ditonton di seluruh dunia. Layanan ini juga terlihat sangat bersahabat dengan kantong penonton, hal ini dengan banyaknya konten film dengan kualitas film yang bagus dan ditampilkan dalam satu layanan.
Selain itu harganya juga cukup terjangkau dan cukup praktis, mulai dari lima puluh ribu hingga seratus ribu rupiah lebih per bulan, tergantung layanan dalam kualitas apa saja yang diinginkan. Inilah yang membuat mengapa sekarang banyak yang lebih memilih berlangganan layanan streaming berbayar. Selain tidak repot, para pelanggan memiliki cukup banyak waktu untuk menonton film yang diinginkan, mulai dari rumah sendiri hingga di kantor. Selain itu, salah satu manfaat dari layanan ini adalah Anda juga bisa menonton film yang baru rilis di tahun yang sama dengan tahun rilis teatrikalnya, atau lebih tepatnya 3-6 bulan tepat setelah film tersebut dirilis di bioskop.
Inilah berbagai alasan kenapa sebuah film bisa flop selain karena kualitasnya jelek. Jadi menurut kalian, dari alasan yang disebutkan di atas, manakah yang bisa kalian kaitkan atau sependapat dengan penulis mengenai hal ini? Tulis komentarnya di bawah.