Seiring dengan maraknya diskusi tentang Generasi Sandwich di Kompasiana, izinkan saya berbagi sudut pandang pribadi sebagai individu yang masih berjuang dalam posisi ini. Semua tulisan ini adalah murni pandangan dan pengalaman pribadi. Semoga, jika ada kesamaan dalam pengalaman atau pemikiran, artikel ini dapat menjadi penyemangat bagi kita semua, serta menjawab pertanyaan krusial: “Mungkinkah Generasi Sandwich memimpikan pensiun?”.
Istilah Generasi Sandwich mungkin baru populer di masa modern ini, namun saya meyakini bahwa kondisi “terjepit” semacam ini telah ada sejak dahulu kala. Sebenarnya, istilah ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1981 oleh Dorothy A. Miller, seorang profesor dan peneliti dari University of Kentucky, AS. Ia menggunakannya untuk menggambarkan individu yang merasa “terjepit” di tengah, layaknya isian daging dalam roti lapis, di antara himpitan kebutuhan generasi di atas (orang tua) dan generasi di bawah (anak atau tanggungan lainnya).
Kisah pribadi saya bermula ketika saya masih kecil. Kala itu, saya belum menyadari dampak ekonomi keluarga kami yang anjlok drastis setelah almarhum Ayah divonis kanker stadium 3B. Biaya perawatan yang seharusnya ditanggung perusahaan hanya dicover sebagian, karena alasan Ayah tidak terdeteksi kanker saat medical check-up perusahaan. Sisanya, menjadi beban keluarga kami. Namun, berkat mukjizat Tuhan, Ayah diberikan kesempatan hidup kedua dan masih bersama kami selama 13 tahun berikutnya. Di sinilah, tanpa saya sadari, fondasi perjuangan sebagai Generasi Sandwich mulai terbentuk.
Saat itu, saya masih sangat belia, tidak merasakan apa-apa. Dunia terasa aman; saya masih bisa sekolah dan mendapat uang jajan. Namun, di balik itu, orang tua saya berjuang keras mencari nafkah, menyembunyikan beban yang mereka pikul. Saya tidak pernah diberitahu mengenai permasalahan ekonomi yang mereka hadapi, menjaga saya dari kekhawatiran yang tidak perlu.
Singkat cerita, setelah saya beranjak dewasa, menyelesaikan kuliah, dan mulai bekerja, barulah saya tersadar bahwa diri saya termasuk dalam Generasi Sandwich. Perasaan ini muncul ketika hasil kerja keras saya terasa tidak mampu “membayar” lelah dan tertahannya impian-impian pribadi. Gaji yang saya terima, meskipun puji Tuhan “cukup” dalam skala kecil, belum bisa sepenuhnya mengobati rasa frustrasi ini.
Fokus saya sempat kacau balau. Saya hanya berhasrat mendapatkan gaji besar agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan melunasi tumpukan utang. Kondisi “gali lubang-tutup lubang” ini pada akhirnya membawa saya pada gunung utang yang seolah tak berujung. Belum lagi, muncul dorongan “memberontak” dengan membeli barang yang sebenarnya tidak esensial, membuat saya menjadi sangat impulsif dalam pengelolaan keuangan.
Tekanan ini bahkan sempat membuat saya depresi, hingga hampir terbersit pikiran untuk “mengakhiri” semua perjuangan hidup. Sungguh, menjadi seorang Generasi Sandwich adalah pengalaman yang tidak menyenangkan, terutama ketika tidak ada dukungan emosional maupun material dari lingkungan terdekat seperti saudara. Beban terasa kian berat dan tidak masuk akal. Saya sungguh membenci kondisi Generasi Sandwich ini.
Titik Balik dalam Hidup
Semakin saya merenung, semakin saya merasa terpuruk. Saya menyadari, terus-menerus meratapi nasib tanpa mengambil langkah nyata hanya akan membuat saya stagnan. Ibarat berlari di tempat, hanya kelelahan yang didapat tanpa ada kemajuan berarti. Ini adalah momen krusial untuk berubah.
Hingga suatu hari, melalui doa dan perenungan mendalam, saya mulai mencari jalan keluar. Saya menyadari bahwa selama ini saya telah keliru, selalu menolak kenyataan sebagai Generasi Sandwich. Maka, izinkan saya membagikan pandangan yang pada akhirnya membantu saya menerima kondisi ini dan mulai melangkah maju:
1. Menerima Kondisi sebagai Generasi Sandwich
Ya, menerima takdir sebagai Generasi Sandwich memang tidak menyenangkan. Sebagai manusia, wajar jika kita memberontak saat menghadapi kondisi sulit. Namun, ketika kita mampu menerima kenyataan ini, pikiran kita akan menjadi jernih. Penerimaan ini secara tidak langsung membuka mata kita terhadap peluang-peluang baru yang bisa menjadi “cuan” untuk menabung dan membebaskan diri dari belenggu Generasi Sandwich.
2. Jangan Hilang Harapan
Manusia hidup berkat harapan, dan ini sangatlah benar. Alasan saya masih terus berjuang adalah karena saya memiliki harapan: bahwa ketika saya berkeluarga nanti, keturunan saya tidak akan mengalami kondisi serupa. Bagaimana harapan ini bisa saya raih? Tentu saja, dengan tetap hidup, bekerja keras, menerima berkat, dan kemudian menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar saya.
Saya yakin dan percaya, kondisi Generasi Sandwich ini hanya sementara dan dapat diputus. Siapa yang dapat memutuskan rantai ini? Tentu saja diri kita sendiri. Caranya? Tetaplah hidup, sabar, dan yakini harapan yang kita miliki. Meskipun kehidupan sangat dinamis, teruslah melangkah dalam harapan.
3. Semakin Sabar dan Kendalikan Diri
Memiliki rasa “cukup” sangatlah penting untuk mengendalikan diri agar tidak menjadi pribadi yang impulsif. Mengendalikan diri bukan berarti pelit, melainkan menjadi lebih bijak dalam mengatur keuangan. Kita perlu memaksakan diri untuk menahan keinginan, meskipun itu sangat berat. Ada konsep Delayed Gratification, yaitu menunda pemberian self-reward demi mendapatkan kesenangan yang lebih besar dan bermakna ketika kita sudah merasa lebih mapan atau settled.
4. Apakah bisa pensiun? Bisa!
Apakah seorang Generasi Sandwich dapat terlepas dari belenggu ini? Jawabannya adalah bisa! Namun, perjalanan menuju kebebasan itu mungkin akan diwarnai cucuran air mata, rasa sakit, kekecewaan, dan kadang, tuntutan untuk “tega”. Air mata mungkin menetes karena kita tidak bisa leluasa menikmati hasil jerih payah kita. Rasa sakit dan kekecewaan muncul ketika pengorbanan kita terasa tidak dihargai. Dan ada perasaan harus “tega” untuk tidak selalu membantu, karena kekhawatiran akan keberlangsungan hidup kita sendiri jika harus terus-menerus mengorbankan diri untuk orang lain.
Jujur, semua itu tidak mudah, tetapi harus dilalui dan dilakukan. Mengapa? Karena kita juga perlu memikirkan keberlangsungan hidup kita. Terimalah bahwa kita tidak selalu dapat menghidupi banyak orang ketika kondisi kita sendiri masih tertahan. Memang berkat datang dari Tuhan, dan kewajiban kita adalah membagikannya. Namun, menurut saya, kita perlu bijak dalam membagikan berkat itu. Bayangkan jika bantuan yang kita berikan ternyata disalahgunakan, misalnya untuk judi online, atau dibuang percuma. Berkat itu tidak akan tercurah ke tempat yang layak. Oleh karena itu, kita perlu bijak, bahkan sampai pada titik merasa “tega” untuk tidak memberikan uang kepada orang tersebut.
Percayalah, kita bisa pensiun dari generasi ini. Kita perlu menjadi pribadi yang tahan banting dan selalu hidup dalam harapan. Meskipun terkadang dunia terasa tidak mendukung, cobalah untuk melangkah perlahan. Mulailah dengan menerima kondisi, jangan sampai hilang harapan, dan terus pupuk kesabaran serta pengendalian diri.
Puji Tuhan, saat ini saya telah berjuang keras. Ketika melihat ke belakang, saya menyadari bahwa saya telah menyelesaikan kurang lebih 70% dari total tanggungan yang harus dipikul. Tabungan saya memang masih kecil, tetapi saya yakin bahwa saya akan terbebas dan dapat meraih harapan yang saya impikan. Saya pasti bisa pensiun dan memberikan harapan baru untuk keturunan selanjutnya.
Kesimpulan
Saya menyadari bahwa saya belum pandai dalam menceritakan kisah hidup saya yang masih dalam perjalanan panjang ini. Kisah saya mungkin tidak sepenuhnya sama dengan para pembaca, namun saya berharap, semangat dan pengalaman yang saya alami ini dapat membantu para pejuang Generasi Sandwich lainnya untuk tetap semangat menjalani kehidupan. Teruslah berjuang wahai para pejuang Generasi Sandwich, kita harus yakin bahwa kita bisa pensiun, meskipun perjalanannya tidaklah mudah.
Hanya para prajurit terpilih dan tangguh yang layak meraih mahkota kebebasan dari belenggu Generasi Sandwich.