Panji.id, Jakarta – Pemerintah Provinsi Jawa Barat secara resmi telah memberlakukan kebijakan jam malam pelajar yang mulai berlaku sejak 1 Juni 2025. Aturan kontroversial ini membatasi kegiatan anak-anak di luar rumah dari pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa kebijakan ini penting untuk melindungi para pelajar dari berbagai potensi bahaya di lingkungan luar.
Kebijakan jam malam bagi pelajar ini secara resmi tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/Disdik, yang telah ditandatangani secara elektronik pada 23 Mei 2025. Surat edaran tersebut secara khusus ditujukan kepada para wali kota, bupati, kepala desa, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, serta Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Gubernur Dedi Mulyadi menekankan pentingnya koordinasi dari bupati dan wali kota untuk memastikan implementasi aturan ini dapat terlaksana hingga tingkat kecamatan dan desa.
Meski demikian, terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam kebijakan jam malam ini. Pengecualian tersebut mencakup pelajar yang berpartisipasi dalam kegiatan resmi sekolah atau lembaga pendidikan, mereka yang mengikuti aktivitas keagamaan dan sosial di lingkungan tempat tinggal dengan izin orang tua atau wali, pelajar yang berada di luar rumah didampingi oleh orang tua atau wali, serta dalam situasi darurat, bencana, atau kondisi lain yang diketahui dan disetujui oleh orang tua atau wali.
Kebijakan jam malam pelajar yang baru ini telah memicu beragam reaksi dari berbagai kalangan, baik dukungan maupun kritik.
Dukungan dari P2G soal Kebijakan Jam Malam Pelajar
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyambut baik kebijakan jam malam pelajar yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan batas waktu hingga pukul 21.00 WIB. Namun, P2G secara tegas menolak aturan yang mengatur jam masuk sekolah menjadi pukul 06.00 pagi.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menjelaskan bahwa pembatasan jam malam dapat memberikan manfaat signifikan bagi anak-anak, seperti memastikan mereka mendapatkan waktu tidur yang cukup dan berkualitas. Selain itu, kebijakan ini juga mendorong kemandirian belajar serta memperkuat peran keluarga dalam proses pendidikan anak.
“Kebijakan ini bahkan merupakan wujud implementasi nyata dari kebijakan Kemdikdasmen mengenai Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, yang salah satunya adalah Tidur Cepat dan Gemar Belajar,” ujar Iman pada Selasa, 3 Juni 2025.
Di sisi lain, P2G menolak keras kebijakan jam masuk sekolah pukul 06.00 pagi. Menurut Iman, aturan tersebut dinilai kontraproduktif karena, alih-alih mendisiplinkan siswa dan meningkatkan minat belajar, justru berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti kurangnya waktu tidur bagi anak-anak.
Iman lebih lanjut menegaskan bahwa peningkatan kualitas pembelajaran tidak semata-mata ditentukan oleh jam masuk sekolah yang lebih pagi, melainkan oleh ekosistem pendukung yang komprehensif. Ekosistem ini mencakup lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif di sekolah, pola asuh yang efektif di rumah, serta peran krusial guru dalam menciptakan suasana belajar yang berkualitas. Oleh karena itu, masuk sekolah lebih pagi dinilai akan menjadi sia-sia jika kualitas pembelajaran belum menunjukkan perbaikan yang berarti.
JPPI: Penerapan Jam Malam Pelajar sebagai Kebijakan yang Keliru
Berbeda pandangan dengan P2G, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meyakini bahwa penerapan jam malam bagi pelajar di Jawa Barat tidak akan efektif dalam menekan angka kenakalan remaja. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menegaskan bahwa kebijakan yang digagas oleh Gubernur Dedi Mulyadi tersebut justru berpotensi melenceng dari sasaran awalnya.
“Penerapan jam malam bagi pelajar adalah kebijakan yang keliru dan salah alamat. Kebijakan ini cenderung hanya menyalahkan siswa dan mengabaikan akar masalah yang lebih kompleks,” ungkap Ubaid dalam keterangan resminya pada Kamis, 29 Mei 2025.
Ubaid menjelaskan lebih lanjut bahwa mengaitkan kenakalan remaja hanya dengan aktivitas di malam hari adalah pandangan yang kurang tepat. Menurutnya, insiden seperti tawuran atau pergaulan bebas yang kerap terjadi di malam hari tidak semata-mata disebabkan oleh keberadaan pelajar di luar rumah pada jam tertentu. Ia menambahkan, terdapat beragam faktor lain yang turut memengaruhi kenakalan remaja, seperti kurangnya perhatian dari keluarga, minimnya fasilitas dan kegiatan positif, serta isu-isu ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, Ubaid berpendapat bahwa larangan keluar rumah setelah pukul 21.00 WIB mengindikasikan kurangnya pemahaman terhadap kompleksitas kehidupan pelajar.
Respon Psikolog terhadap Kebijakan Jam Malam
Dari perspektif psikologi, Aulia Iskandarsyah, seorang psikolog dari Universitas Padjadjaran, berpendapat bahwa aturan jam malam pelajar yang digagas oleh Dedi Mulyadi memerlukan kelengkapan prosedur pengawasan dan pembinaan yang transparan, termasuk adanya sanksi bagi para pelanggar.
“Penting untuk merinci siapa yang berhak memberikan sanksi serta tata cara pemberian sanksinya. Idealnya, sanksi yang diberikan harus berorientasi edukasi,” tegas Aulia saat dihubungi pada Jumat, 30 Mei 2025.
Aulia menambahkan bahwa tanpa adanya prosedur yang jelas dan tegas, surat edaran mengenai jam malam ini berisiko hanya menjadi wacana semata, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pelaksanaan yang bervariasi dan kesulitan dalam mengukur efektivitasnya.
Lebih lanjut, Aulia menyoroti bahwa penerapan aturan jam malam ini akan membatasi ruang gerak para pelajar, khususnya bagi mereka yang terbiasa menghabiskan waktu di luar rumah atau “nongkrong” pada malam hari. “Tentunya hal ini akan menimbulkan rasa tidak nyaman karena kebiasaan mereka menjadi terbatas,” tutur Aulia.
Di sisi lain, bagi pelajar yang telah memiliki rutinitas belajar, bermain, dan istirahat yang teratur, aturan jam malam ini diprediksi tidak akan membawa dampak yang signifikan. Aulia juga mengemukakan bahwa berdasarkan hasil studi sistematik review oleh Grossman dan Miller (2019) di beberapa negara yang menerapkan kebijakan serupa, aturan tersebut terbukti berhasil menurunkan angka kriminalitas remaja, mengurangi jumlah korban kejahatan di kalangan pelajar, serta menekan tingkat kecelakaan lalu lintas.
Penulisan artikel ini mendapatkan kontribusi dari Sapto Yunus dan Amira Nada Fauziyyah.