Lari Jadi Cuan: Fotografer Raup Puluhan Juta dari Tren Lari!

admin


Olahraga lari, baik yang dilakukan sebelum bekerja, sepulang kantor, maupun saat akhir pekan, kini kian digemari di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Fenomena ini menciptakan ceruk bisnis yang menjanjikan bagi para fotografer, mengingat antusiasme para pelari rekreasional untuk mengabadikan momen sehat mereka di media sosial.

Memanfaatkan momentum ini, Joko Siswanto berhasil menjelajahi profesi fotografer olahraga jalanan. Berbekal hobi dan pengalaman otodidak, ia sukses mendulang pendapatan yang tak sedikit dari bidang ini.

Tren foto lari menjadi sebuah peluang yang sangat menarik untuk menambah pundi-pundi Rupiah. Di kota-kota besar seperti Jakarta, bisnis fotografi olahraga ini tumbuh subur dan kian diminati oleh banyak fotografer,” ujar Joko, yang juga pengelola akun @potretgowes dan @potretevent, dalam wawancaranya dengan kumparan pada Jumat (30/5).

Joko mulai menekuni profesi ini sejak pandemi COVID-19 melanda pada 2020/2021. Kala itu, banyak masyarakat urban beralih melirik hobi lari dan bersepeda. Melihat peluang ini, Joko tak menyia-nyiakan kesempatan dan segera mencari informasi mendalam terkait fotografi olahraga.


Ia lantas melakukan riset kepada para fotografer yang lebih dulu terjun di bidang ini, mempelajari strategi penjualan dan dinamika pasarnya. Joko sangat bersyukur akan peran media sosial yang menjadi wadah utama bagi para pegiat olahraga untuk mengaktualisasikan diri.

Joko menceritakan, pada awal merintis profesi fotografer olahraga di era pandemi, ruas Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin dipenuhi oleh para pesepeda. Saat itu, jumlah fotografer yang hadir belum sebanyak sekarang.

Para fotografer kala itu cenderung berkumpul di titik-titik strategis seperti Flyover Kuningan, Dukuh Atas Sudirman, Flyover TVRI, dan Simpang Susun Semanggi. Bagi Joko, mengabadikan momen pesepeda dan pelari di Jakarta menjadi rutinitas harian, bahkan hampir setiap hari.

Alhamdulillah, awal mula memulai bisnis ini adalah sebuah kejutan besar bagi saya, karena omzet yang dihasilkan bisa mencapai puluhan juta rupiah setiap bulannya,” ungkap Joko dengan penuh rasa syukur. Umumnya, para fotografer mematok harga sekitar Rp 100.000 per foto, dengan penawaran harga lebih rendah untuk pembelian dalam jumlah banyak. Ia menekankan pentingnya menjaga nilai karya fotografi. “Saya dan teman-teman pun kerap mengedukasi para fotografer yang baru merintis bisnis foto lari ini agar tidak menjual hasil karyanya dengan harga terlalu murah, mengingat investasi alat produksi seperti kamera dan laptop yang tidak sedikit,” jelasnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, Joko mengakui bahwa omzet dari fotografi olahraga mulai mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kemungkinan jenuhnya pasar dan membludaknya jumlah fotografer baru. Terlebih, saat ada ajang besar seperti lari maraton atau Car Free Day (CFD) di Jakarta, jumlah fotografer jalanan yang menawarkan jasa foto di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman bisa mencapai lebih dari 200 orang, menjadikan persaingan kian ketat.

Incar Event Lomba Lari karena Lebih Cuan

Strategi berbeda diterapkan oleh Rizkiananda Chinta Cheppy, fotografer lainnya. Ia memilih untuk fokus mengincar event-event lari yang umumnya diselenggarakan pada hari Sabtu atau Minggu. Menurutnya, dalam ajang semacam ini, potensi pelari profesional maupun rekreasional untuk membeli foto jauh lebih besar dibandingkan pemotretan harian.

Pemilik akun Instagram @chintamoments ini mengungkapkan bahwa untuk satu event lari saja, ia bisa mengantongi setidaknya Rp 1 juta. Contohnya, pada ajang Bogor Run 2025 yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Bogor di Sentul pada 11 Mei 2025, 60 foto berhasil terjual. “Dengan harga per foto Rp 50 ribu, kemarin kira-kira bisa dapat Rp 3 jutaan,” jelasnya kepada kumparan pada Sabtu (24/5).

Selain foto lari di aspal (road run), Chinta juga sering berpartisipasi dalam ajang trail run. Baginya, event lari jenis ini lebih menantang, sebab baik pelari maupun fotografer harus menempuh perjalanan yang sulit menuju lokasi, apalagi jika seluruh event trail diadakan di area pegunungan, seperti Siksorogo Lawu Ultra di kawasan Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Beberapa trail run, seperti Bogor City Trail pada 25 Mei 2025, menyajikan medan beragam mulai dari persawahan, pegunungan, hingga perkampungan. Dengan elevasi di atas 300, ajang ini menawarkan tantangan yang menarik sekaligus cocok untuk pelari pemula.

“Jika memotret road run, fotografer cenderung hanya menetap di satu titik. Namun, untuk trail run, dengan durasi waktu yang lebih panjang, saya bisa berpindah-pindah dan mengejar para pelari di berbagai lokasi. Bahkan, saya bisa berpindah hingga tiga spot berbeda,” paparnya.

Meskipun fotografi hanyalah pekerjaan sampingan bagi Chinta yang sehari-hari bekerja kantoran, ia optimistis profesi ini tetap menjanjikan seiring maraknya event lari. Berdasarkan situs Kalender Lari, tercatat setidaknya 42 event lari akan berlangsung di Jakarta saja dari Januari hingga 9 November 2025, belum termasuk di Bogor dan kota-kota Jabodetabek lainnya. Kendati demikian, ia mengaku selektif dalam memilih event lari, hanya mengikuti yang memiliki banyak peserta.

Dengan kegigihannya memotret di Bogor dan Jakarta, Chinta pernah mencapai pendapatan tertinggi hingga Rp 13 juta per bulan, yang didapatkan dari penjualan via Instagram atau platform Fotoyu. Selain fotografi lari, ia bersama rekannya @bogormotret22, juga mulai merambah cabang olahraga lain seperti tenis dan golf, bahkan menerima proyek fotografi pribadi atau korporasi.

Dari Driver Ojol Jadi Fotografer Lari
Tren olahraga luar ruangan dan peluang bisnis fotografi tak hanya menjanjikan di Jakarta, namun juga merambah kota-kota besar lain di Indonesia, salah satunya Bandung. Hal ini ditegaskan oleh Judi Tandoko, seorang fotografer olahraga yang tergabung dalam platform Fotoyu.

Judi, yang memang sudah memiliki hobi memotret, baru-baru ini tertarik dengan fenomena fotografer olahraga jalanan. Ia kemudian mendaftar di platform Fotoyu dan mulai aktif memotret hingga empat kali seminggu di kawasan Dago Bawah, Bandung.

Sejak empat bulan lalu, hobi fotografi telah menjadi pekerjaan sampingan Judi, melengkapi profesinya sebagai pegawai swasta di sebuah toko kain. Sejak menekuni bidang ini, Judi memutuskan untuk tidak lagi menjadi pengemudi ojek online (ojol) karena penghasilannya dari fotografi kini setara, namun dengan tingkat kelelahan yang jauh berkurang.


“Sebelumnya, sepulang kerja saya biasa mengambil beberapa jam untuk menjadi ojek online dengan penghasilan sekitar Rp 400.000 per minggu, namun disertai kelelahan saat pulang ke rumah. Melalui platform ini, saya kini bisa mendapatkan penghasilan yang kurang lebih sama tanpa merasa terlalu lelah,” ungkap Judi.

Dari fotografi olahraga, Judi kini bisa mengantongi omzet antara Rp 100.000 hingga Rp 500.000 setiap pekannya. Foto-fotonya biasa dibanderol minimal Rp 35.000 per foto.

“Keuntungan yang didapat mencapai 90 persen dari harga jual foto. Harga ini diatur oleh komunitas agar tetap stabil, memastikan pembeli fokus pada kualitas karya, bukan hanya harga,” terang Judi.

Kendati demikian, Judi tidak menampik adanya pro dan kontra terkait fenomena jual beli foto, terutama yang kini marak difasilitasi oleh aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), yaitu Fotoyu.


Berdasarkan informasi dari laman resminya, Fotoyu adalah platform marketplace dokumentasi personal yang berfungsi menghubungkan para fotografer (kreator) dengan pengguna melalui teknologi AI. Platform ini memudahkan pengguna untuk mencari dan menemukan foto-foto mereka yang diambil di berbagai acara.

“Sebagai fotografer yang tergabung dalam platform Fotoyu, saya menyadari adanya pro dan kontra terkait fenomena fotografer jalanan ini. Ada yang merasa privasinya terganggu, namun tak sedikit pula yang merasa terbantu karena bisa mendapatkan hasil foto berkualitas untuk diunggah ke media sosial,” tutur Judi. Ia menilai bahwa hal ini merupakan fenomena yang tak terhindarkan di era perkembangan teknologi saat ini. Terlebih, banyak pegiat olahraga yang justru merasa diuntungkan dengan keberadaan teknologi tersebut. Judi menyarankan, bagi para pegiat olahraga yang tidak ingin difoto atau fotonya diunggah di platform, untuk segera meminta penghapusan foto atau memberikan isyarat keberatan. “Para fotografer memotret di ruang terbuka, bukan secara sembunyi-sembunyi. Jadi, jika ada yang keberatan difoto, bisa langsung meminta penghapusan atau memberikan tanda dengan tangan,” tegasnya.

Pelajar SMP yang Cuan dari Fotografi Lari

Kisah inspiratif lain datang dari Albie Alfarizi Sembiring, seorang fotografer lari berusia 15 tahun. Berawal dari hobi badminton, kini jalan baginya untuk menekuni fotografi olahraga lain terbuka lebar.

Siswa SMP Al Amjad Kota Medan ini awalnya terjun ke dunia fotografi hanya untuk mengasah keterampilan. Namun, kini Albie berhasil mendulang cuan dari kegemaran barunya tersebut.

Pemuda berbakat ini kini menghabiskan libur akhir pekannya dengan mengabadikan momen-momen para pelari berolahraga di Jalan Diponegoro, Kota Medan.

“Awalnya saya tidak berniat berjualan, hanya ingin memberikan saja jika ada yang meminta, karena saya masih belajar dan hasilnya pun biasa saja,” tutur Albie kepada kumparan pada Sabtu (24/5). Albie menceritakan, inspirasinya muncul saat ia pergi ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk menonton pertandingan badminton. Di sana, ia berkesempatan melihat langsung fotografer idolanya dari Tiongkok, Shi Tang, yang selama ini sering ia ikuti di Instagram. Sejak kepulangannya dari Malaysia, Albie semakin yakin untuk mendalami fotografi agar bisa mengikuti jejak sang idola.

Senada dengan itu, Syahran, seorang fotografer lain di Kota Medan, juga memiliki pengalaman menarik. Pria yang menjadikan fotografi sebagai pekerjaan sampingan ini pernah menghabiskan berjam-jam sendirian di perbukitan Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, demi mengabadikan momen para pelari.

“Ada sekitar empat jam sendirian di sana. Untuk mencapai lokasi saja butuh waktu sejam perjalanan. Memang harus ditempuh demi mendapatkan latar belakang yang menarik,” kisahnya. Melalui hobi ini, Syahran berhasil meraup keuntungan antara Rp 2-5 juta. Sistem penjualannya pun serupa dengan Albie, yakni memasarkan hasil karyanya melalui Fotoyu atau dengan membagikan tautan Google Drive.

Also Read

Tags

Tinggalkan komentar