Losmen Bu Broto The Series: Review Lucu, Segar, dan Mengesankan!

admin

Alert: mengandung spoiler

Awalnya, serial Netflix Losmen Bu Broto sama sekali di luar ekspektasi saya. Bermula dari keisengan mengisi waktu luang, saya mencoba menonton serial ini dengan anggapan awal bahwa ini hanyalah upaya remake Indonesia yang biasa-biasa saja. Namun, dugaan tersebut meleset jauh. Ternyata, serial ini benar-benar luar biasa!

Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui bahwa ulasan ini tidak membandingkan serial ini dengan film layar lebarnya yang tayang lebih dulu, karena saya memang belum menontonnya.

Mari kita mulai dengan aspek pemilihan pemain. Pilihan para pemerannya patut diacungi jempol. Saya tidak menyangka Mathias Muchus mampu memerankan sosok Pak Broto dengan begitu meyakinkan. Sebagai penonton yang mengikuti seri orisinalnya, saya bahkan sempat lupa bahwa ia dulu adalah Tarjo, sang anak. Penampilannya dalam serial ini terasa sekuat, bahkan mungkin lebih kuat, dari karakter Mang Udel yang legendaris. Bagi penonton yang belum menyaksikan seri lawasnya, sangat disarankan untuk menontonnya terlebih dahulu.

Begitu pula dengan Maudy Koesnaedi yang memerankan Bu Broto; saya sampai lupa bahwa ia berasal dari Jawa Barat atau Sunda. Penampilannya di serial ini benar-benar menjelma menjadi sosok ibu yang sangat ‘Jawa’ dan otentik. Salah satu adegan yang paling berkesan adalah ketika Pak Broto memuji istrinya setinggi langit. Adegan ini terasa sangat mendalam dan tulus, menunjukkan kualitas penataan adegan, penulisan naskah, serta kemampuan akting para pemeran yang luar biasa.

Pemilihan karakter Pak Atmo Losmen Bu Broto juga patut diacungi jempol. Ia tidak lagi hanya sekadar ‘batur sepuh’ atau asisten rumah tangga senior, melainkan memiliki alur cerita sendiri yang dibangun dengan kuat. Ide untuk memasukkan elemen drama Korea (drakor) dan pertemuan tak terduga dengan orang Korea terasa begitu jenius dari penulis cerita. Meskipun rangkaian kebetulan seperti bertemu di laundry, kehilangan dompet, dan menemukannya di tempat sampah terkesan agak konyol dan dipaksakan, saya terheran-heran mengapa hal itu tidak terasa buruk. Mungkin karena ceritanya mengalir dengan apik atau akting para pemeran yang memukau? Yang jelas, semua elemen ini terasa begitu memuaskan dan jarang sekali saya memberikan pujian setinggi ini.

Aspek tata letak dan lokasi syuting juga berhasil menciptakan suasana yang autentik. Nuansa pintu, jendela, hingga warna cat yang mempertahankan kesan kuno benar-benar membawa saya kembali ke memori masa lalu. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian saya: pilihan lokasi losmen terasa lebih mewah dan luas dibandingkan ingatan saya tentang losmen aslinya yang lebih sederhana. Mungkin penyesuaian ini diperlukan untuk mengakomodasi perkembangan cerita, terutama mengingat karakter seperti Mbak Sri dan suaminya kini memiliki mobil, sehingga wajar jika Losmen Bu Broto divisualisasikan sebesar dan secantik itu.

Humor dalam serial ini disajikan dengan sangat cerdas dan tidak ‘receh’. Semua kelucuan mengalir secara natural dan menyenangkan, tanpa sedikit pun kesan dipaksakan. Pemilihan dialog dan kalimat dalam skenario patut diacungi jempol, seperti cara Pak Atmo menyebut makanan Korea, ekspresi kaget saat mengira ada Jungkook padahal itu sopir, hingga nasihat bijak Pak Broto kepada Tarjo tentang cara menghadapi masalah.

Salah satu detail yang sangat menarik adalah saat Pak Broto dan Bu Broto berbincang di tempat tidur, bukan adegannya, melainkan buku yang sedang dibaca Pak Broto. Benarkah itu buku ‘How to Analyze People’ karya Brian Masters? Detail ini sangat lucu dan saya menyukai ide di baliknya. Dengan bacaan sekeren itu, seolah mengisyaratkan bahwa Mbak Pur dan Mbak Sri seharusnya adalah lulusan universitas, mengingat wawasan ayahnya. Meskipun terasa lebih masuk akal jika Pak Broto membaca buku sejarah seperti Majapahit atau Ken Arok, pilihan buku ini justru menjadi sentuhan komedi yang cerdas dan menyegarkan.

Apresiasi juga patut diberikan pada pemilihan karakter juru parkir Losmen yang sudah sepuh. Kehadirannya sangat menyegarkan dan realistis. Faktanya, para juru parkir yang sudah berumur seringkali bekerja dengan dua alasan utama: kebutuhan ekonomi, atau semata-mata karena kesenangan dalam bekerja, meskipun hanya sebagai juru parkir.

Namun, ada satu kritik yang ingin saya sampaikan, yaitu terkait adegan ciuman. Apakah adegan tersebut benar-benar diperlukan? Hingga saat ini, saya masih merasa kurang sreg ketika film Indonesia yang sebenarnya bagus harus diisi dengan adegan semacam itu, apalagi serial ini mengangkat tema kejawaan yang kental dengan tata krama dan nilai-nilai luhur.

Di pertengahan episode, ada sebuah momen penting yang mengejutkan saya dan menyadarkan saya akan diri sendiri. Dahulu, saat saya masih kecil, Mang Udel memerankan Pak Broto dan Mathias Muchus adalah Tarjo. Kini, Pak Broto diperankan oleh Mathias Muchus, sama seperti saya yang kini juga berperan sebagai ayah di keluarga. Meskipun tidak persis sama, ada kemiripan yang terasa. Ayah saya yang almarhum dulunya seorang akademisi, sama seperti almarhum Mang Udel yang juga berlatar belakang akademisi di UI dan universitas lain. Keduanya kini telah tiada. Tentu, saya tidak setenar Mathias Muchus, namun saya ‘merasa’ seperti Pak Broto yang ia perankan saat ini. Anak-anak saya pun sudah beranjak dewasa. Ah, waktu benar-benar berjalan begitu cepat. Terima kasih, serial ini telah memberikan saya sebuah refleksi diri dengan caranya sendiri.

Also Read