Restorative Justice: Solusi Hukum Diajukan Mahasiswa Trisakti?

admin

Mahasiswa Universitas Trisakti yang ditetapkan sebagai tersangka setelah aksi demonstrasi peringatan 27 tahun Tragedi Trisakti di depan Balai Kota Jakarta berencana mengajukan keadilan restoratif (restorative justice). Langkah ini ditempuh setelah tim kuasa hukum para mahasiswa, yang dikoordinasikan oleh Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, memulai pembicaraan dengan pihak kepolisian untuk membahas penyelesaian kasus ini.

Usman Hamid mengungkapkan bahwa jadwal pertemuan terdekat antara tim kuasa hukum dan kepolisian diperkirakan akan berlangsung pada awal pekan depan, mengindikasikan adanya upaya serius untuk mencapai kesepakatan damai.

Menanggapi rencana tersebut, Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Reonald Simanjuntak, menjelaskan bahwa penerapan keadilan restoratif tidak serta-merta diberikan. Ada beberapa persyaratan ketat yang harus dipenuhi oleh para tersangka, termasuk menunjukkan penyesalan yang tulus atas perbuatan mereka dan berkomitmen untuk tidak mengulangi tindakan serupa di kemudian hari.

Reonald juga menambahkan bahwa selama proses penyidikan berlangsung, para mahasiswa yang berstatus tersangka wajib menunjukkan itikad baik. Meskipun demikian, pihak penyidik menegaskan komitmen mereka untuk tetap menuntaskan proses penyidikan hingga akhir, memastikan semua prosedur hukum dijalankan dengan benar.

Konsep restorative justice sendiri merupakan pendekatan hukum progresif yang bertujuan menyelesaikan perkara pidana. Proses implementasinya diatur secara jelas dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Tujuan utamanya adalah mencari penyelesaian yang adil melalui keterlibatan aktif pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, serta pihak-pihak terkait lainnya. Fokus utama dari keadilan restoratif adalah pada pemulihan kondisi semula, bukan semata-mata pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.

Menurut Peraturan Kejaksaan, keadilan restoratif terwujud melalui proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, dan pihak-pihak lain yang relevan. Proses ini menekankan pada pemulihan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana. Selain itu, proses hukum ini juga melibatkan tokoh masyarakat guna menciptakan penyelesaian yang adil dan berkeadilan sosial bagi semua pihak.

Pendekatan restorative justice berupaya memperbaiki kerugian yang timbul akibat tindak pidana dan menuntut pelaku untuk bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Lebih jauh, keadilan restoratif juga memberikan ruang yang luas bagi korban untuk berpartisipasi aktif dalam proses peradilan dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi secara maksimal.

Melalui proses ini, pihak-pihak yang secara langsung terdampak oleh kejahatan didorong untuk terlibat langsung dalam sistem peradilan, memberikan kekuatan lebih kepada korban dibandingkan sistem peradilan tradisional yang seringkali mengesampingkan peran mereka.

Setidaknya, terdapat empat jenis perkara pidana yang memenuhi syarat untuk diajukan melalui mekanisme keadilan restoratif, antara lain:

Tindak Pidana Ringan

Berdasarkan Panduan Penerapan Restorative Justice yang dikeluarkan Mahkamah Agung, pendekatan ini pada tindak pidana ringan terbatas pada beberapa pasal dalam KUHP, yaitu Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 407 (perusakan ringan), dan 482 (perbuatan yang merugikan orang lain). Masing-masing pasal ini memiliki ancaman hukuman penjara paling lama tiga bulan dan/atau denda tertentu.

Perkara Anak

Panduan Penerapan Restorative Justice dari Mahkamah Agung juga mengatur secara khusus perkara yang melibatkan anak di bawah 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pedoman ini memberikan perlakuan khusus terhadap anak yang menjadi korban, mengalami kekerasan fisik, mental, hingga kerugian ekonomi akibat tindak pidana, dengan fokus pada pemulihan dan kepentingan terbaik anak.

Perkara Narkotika

Dalam penanganan perkara narkotika, pendekatan keadilan restoratif yang diatur oleh Mahkamah Agung hanya dapat diterapkan pada pecandu narkotika. Dalam kasus penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan dengan penggunaan satu hari, penyelesaian menggunakan restorative justice dimungkinkan jika pelaku tertangkap tangan oleh penyidik dari Polri atau BNN dengan barang bukti yang menunjukkan pemakaian narkotika.

Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Perempuan yang terlibat dalam permasalahan hukum, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku, mendapatkan perlakuan khusus. Perlindungan dan perlakuan ini tidak hanya diatur dalam perundang-undangan domestik, tetapi juga dijamin oleh Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menekankan keadilan gender dan perlindungan hak asasi perempuan.

Oyuk Ivani Siagian, Muhammad Syaifulloh dan Ananda Bintang Purwaramdhona berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Also Read

Tags