Panji.id – , Jakarta – Kontroversi seputar kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mewajibkan siswa masuk sekolah pukul 06.00 WIB mendapatkan tanggapan unik dari Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat. Atip menyatakan belum bisa merespons langsung, bahkan menyebut akan memohon petunjuk ilahi sebelum berkomentar.
“Belum itu, nanti ya, mau salat istikharah dulu,” ujar Atip Latipulhayat, singkat, saat ditemui di Kompleks Parlemen DPR, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud pernyataannya, Wamen Dikdasmen itu segera meninggalkan kawasan Senayan setelah mengucapkan kalimat tersebut, meninggalkan tanda tanya besar seputar sikap kementerian terhadap kebijakan kontroversial ini.
Kebijakan jam sekolah pukul 06.00 pagi ini digulirkan oleh Gubernur Dedi Mulyadi dengan tujuan utama membangun kedisiplinan di kalangan pelajar Jawa Barat. Dedi menegaskan bahwa konsep jam belajar dini ini bukanlah hal baru baginya, sebab ia telah menerapkannya di Purwakarta saat menjabat bupati. “Tidak apa-apa mulai pukul 06.00, tapi belajarnya kan sampai Jumat,” ujarnya, seperti dikutip dari siaran pers Humas Jawa Barat pada Jumat, 30 Mei 2025.
Namun, rencana penerapan jam masuk sekolah pukul 06.00 WIB ini sontak menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan, khususnya kelompok pemerhati pendidikan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, secara tegas menilai bahwa kebijakan ini terlalu dipaksakan dan berpotensi serius membahayakan kesehatan fisik serta mental para peserta didik.
“Saya tidak sependapat dengan rencana penerapan jam sekolah pukul 06.00 pagi. Itu terlalu dini untuk anak-anak,” ungkap Ubaid saat dihubungi pada Sabtu, 31 Mei 2025, menekankan kekhawatirannya akan dampak kebijakan ini.
Menurut Ubaid, anak-anak sangat memerlukan waktu yang memadai di pagi hari untuk mengisi energi dan mempersiapkan diri secara optimal sebelum memulai kegiatan belajar. Realitasnya, banyak siswa yang terpaksa berangkat tanpa sarapan karena terburu-buru atau keluarga belum sempat menyiapkan makanan. “Tanpa asupan nutrisi yang cukup, konsentrasi dan fokus belajar anak pasti akan terganggu. Hal ini secara signifikan bisa berdampak negatif terhadap suasana hati dan kemampuan belajar mereka sepanjang hari,” jelasnya, merinci potensi masalah gizi dan kognitif.
Lebih lanjut, Ubaid Matraji juga menyoroti aspek keamanan yang dinilai belum mendapat perhatian serius dalam implementasi kebijakan ini. Ia khawatir anak-anak akan terpaksa berangkat dari rumah dalam kondisi yang masih gelap, khususnya bagi mereka yang berada di wilayah pedesaan atau pelosok dengan akses transportasi yang terbatas, meningkatkan risiko keselamatan mereka.
JPPI, melalui Ubaid, menegaskan bahwa mereka tidak menolak prinsip kedisiplinan dalam pendidikan. Namun, ia menekankan bahwa cara penerapannya haruslah mempertimbangkan kebutuhan dasar anak secara holistik. “Disiplin memang penting, tetapi memaksakan jam sekolah yang terlalu pagi bukanlah cara terbaik untuk mengajarkannya,” tegas Ubaid, menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang proporsional.
Oleh karena itu, JPPI mendesak pemerintah daerah untuk mengedepankan kajian ilmiah yang komprehensif serta pendekatan yang benar-benar berbasis pada hak anak sebelum mengambil langkah-langkah perubahan yang ekstrem dalam sistem pendidikan.
Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.